Perang Jamal,
Bukan Perang Antara Ali ra dan ‘Aisyah ra
Sebenarnya,
perang Jamal, Bukan Perang Antara Sayyiduna Ali ra dan Sayyidatuna ‘Aisyah
ra. Hanya saja, peristiwa Jamal ini merupakan salah satu topik yang banyak
disalahpahami oleh sejarawan, baik muslim maupun non muslim, baik orang
terpercaya maupun tidak, baik orang yang punya kepentingan maupun tidak.
Oleh karena
itu, penting untuk diketengahkan riwayat-riwayat yang menurut penulis,
sebagaimana dijabarkan oleh Dr. Sa’id al-Kamali, merupakan riwayat paling sahih
dan berhubungan dengan akidah yang berkaitan dengan para sahabat Rasulullah
saw.
Meletusnya
perang Jamal mempunyai banyak sebab. Meskipun demikian, sebab-sebab tersebut
berpusat pada satu titik, yaitu terbunuhnya sayyiduna ‘Utsman bin ‘Affan
ra.
Pada tulisan
sebelumnya, sudah diuraikan tentang pembaiatan Ali, tiga hari setelah
pemabaiatannya, empat bulan setelah terbunuhnya Utsman, dan Ali mendengar
informasi bahwa Thalhah, Zubair, dan Aisyah berangkat menuju Bashrah. Kemudian,
Ali berkata Qa’qa’ untuk menemui mereka, ketika dia sampai di Dhi Qar.
Ali Berkata Kepada Qa’qa’
Ketika sampai di sebuah tempat yang bernama Dhi Qar, Ali
mengutus Qa’qa’ bin ‘Amr dan berkata, “Berangkatlah untuk menemui dua orang
laki-laki itu. Ajak mereka kepada cinta dan persatuan. Sampaikan pada mereka
potensi besar perpecahan”.
Qa’qa’ berangkat ke Bashrah, lalu menemui Aisyah, dan
berkata, “Wahai ibuku, apa gerangan yang mendorong anda berangkat ke negeri
ini?”. Aisyah ra menjawab, “Wahai anakku, motifku adalah untuk mendamaikan kaum
muslim”. Qa’qa berkata, “Jika demikian, hendaknya anda mengundang Thalhah dan
Zubair agar anda bisa mendengarkan perkataan saya dan perkataan mereka berdua”.
Kemudian Aisyah mengundang mereka berdua. Ketika mereka
sudah memenuhi undangan dan hadir di hadapannya, Qa’qa’ berkata, “Saya bertanya
kepada Ibunda Kaum Mukmin, ‘Wahai ibuku, apa gerangan yang mendorong anda
berangkat ke negeri ini?’. Beliau menjawab, “Wahai anakku, motifku adalah untuk
mendamaikan kaum muslim’. Maka, apa jawaban kalian berdua, apakah sama atau
berbeda dengan jawaban Ibunda Kaum Mukmin?”. Mereka berdua menjawab, “Jawaban
kami sama dengan Ibunda Kaum Mukmin”.
Kemudian Qa’qa’ berkata kepada mereka berdua, “Maka, beri
tahu saya tentang perdamaian yang kalian inginkan. Jika kami sependapat, maka
kita akan menggunakan ide perdamaian kalian. Jika tidak sependapat, maka
sungguh kami akan membangun perdamaian”.
Thalhah dan Zubair menjawab, “Penegakan Hak Darah
Utsman”. Qa’qa’ berkata, “Anggaplah, misalkan, kalian sudah membunuh para
pembunuh Utsman dari penduduk Bashrah. Kalian membunuh enam ratus orang, maka
enam ribu dari mereka akan marah kepada kalian. Kalian menelusuri satu orang
pembunuh dari mereka, kalian akan dicegah oleh enam ribu orang. Sedangkan
kalian sendiri melindungi Rabi’ah dan Mudhar berdasarkan perlindungan mereka”.
Tulisan ini tidak ingin menguraikan secara sangat
terperinci, tetapi perlu diketahui bahwa rakyat jelata yang membunuh Utsman,
dilihat dari daerahnya, terdiri dari orang Bashrah, Mesir, Kufah, dan rakyat
jelata Arab, dan dilihat dari kabilahnya, mereka terdiri dari Mudhar, Rabi’ah,
dan Yaman. Mereka semua bersekongkol untuk membunuh Khalifah pemimpim kaum
muslim. Jika penegakan kisas itu tidak prosedural, maka pembunuhan beberapa
orang saja akan berdampak pada kemarahan keluarga, kabilah, dan kota orang yang
dibunuh itu, yang akan menimbulkan terjadinya prediksi yang diantisipasi oleh
Qa’qa’.
Kemudian, Aisyah bertanya, “Lalu menurutmu sendiri,
bagaimana pendapatmu, wahai Qa’qa’?”. Qa’qa’ menjawab, “Menurutku, obat dari
urusan ini adalah ketenangan. Jika kasus ini sudah reda dan emosi sudah tenang,
maka satu per satu para pembunuh itu bisa dikisas”. Kemudian Qa’qa’
melanjutkan, “Jika kalian sepakat, ini pertanda kebaikan, kabar gembira kasih
sayang, bisa menuntut Hak Darah itu, dan keselamtan bagi umat ini. Tetapi jika
kalian menantang dan ingin menyelesaikan secara serampangan, ini adalah
pertanda buruk, tidak bisa menuntut Hak Darah itu. Maka, jadilah pintu-pintu
kebaikan sebagaimana kalian memang dari dulu adalah pintu-pintu kebaikan.
Jangan menawarkan dan jangan mendekati kecelakaan. Karena kecelakaan itu akan
membanting kita dan kalian. Demi Allah, saya berkata tentang urusan ini dalam
keadaan khawatir akan terjadi takdir buruk terhadap umat yang sedikit
perhiasannya ini, lalu kekhawatiran itu benar-benar akan terjadi”.
Mereka berkata, “Qa’qa’, kamu benar dan tepat. Maka,
pergilah kepada Ali. Jika pendapatnya sama dengan pendapatmu, urusan ini akan
berakhir baik”. Kemudian Qa’qa’ berangkat menuju Ali untuk memberi tahu jawaban
Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Pada waktu itu, pada saat Qa’qa’ berada di
Bashrah, delegasi dari Bashrah mendatangi Ali di Dhi Qar dan memberi tahu bahwa
tujuan semua orang adalah perdamaian dan tidak satu orang pun di dalam hatinya
yang terbersit untuk berperang, sama sekali.
Ketika Qa’qa’ memberi tahu jawaban itu kepada Ali, Ali
mengirimkan dua orang laki-laki lain untuk memastikan jawaban Qa’qa’ itu. Dua
orang itu kembali kepada Ali dan memberi tahu bahwa tujuan semua orang adalah
perdamaian sebagaimana jawaban Qa’qa’.
Mendengar hal itu, Ali gembira dan semua orang itu pun
gembira, lalu pasukan dari Dhi Qar berangkat ke Bashrah. Di sana, pasukan Ali
berjalan secara damai di hadapan pasukan penduduk Bashrah. Pasukan Ali terdiri
dari beberapa kabilah, di antaranya adalah kabilah Rabi’ah, Mudhar, dan Yaman.
Pasukan Bashrah atau pasukan Thalhah, Zubair, dan Aisyah juga terdiri dari
beberapa kabilah yang di antaranya adalah kabilah Rabi’ah, Mudhar, dan Yaman.
Perdamaian Itu Berhasil
Ketika kedua pasukan itu menghampiri di hadapan sebagian
pasukan yang lain, pasukan Rabi’ah berdiri di hadapan pasukan Rabi’ah yang
lain, pasukan Mudhar berdiri di hadapan pasukan Mudhar yang lain, dan pasukan
Yaman berdiri di hadapan pasukan Yaman yang lain, orang-orang saling bercampur
baur. Mereka semua tidak berniat apa-apa kecuali perdamaian. Mereka semua tidak
berpendapat apa-apa kecuali perdamaian. Tidak seorang pun yang menyebutkan
peperangan.
Ketika dua pasukan itu bertemu, maka Ali, Thalhah, dan
Zubair saling berbicara, kemudian bubar dengan niat masing-masing untuk
perdamaian. Kemudian masing-masing dari Ali, Thalhah, dan Zubair memberi tahu
setiap kepala pasukannya masing-masing untuk perdamaian.
Lalu, Ali bersama pasukannya ingin kembali ke Bashrah
setelah mengetahui secara pasti bahwa semuanya sudah melakukan perdamaian, Ali
berkata di depan publik, “Sesungguhnya, besok saya akan berangkat ke Bashrah.
Maka kalian juga berangkatlah! Ingat, orang-orang yang ikut serta di dalam
pembunuhan Utsman tidak boleh berangkat bersama kami”. Pada malam harinya,
semua orang tidur dalam keadaan bahagia, gembira, senang, dan niat berdamai.
Hanya saja, orang-orangnya Ibnu Saba’ yang bersekongkol
untuk kejahatan, semalam suntuk melakukan rencana-rencana jahat, karena mereka
memang ingin menghancurkan perdamaian kaum muslim. Mereka bermusyawarah semalam
suntuk untuk melancarkan rencana jahatnya. Mereka berkata, “Kaum muslim sudah
berdamai. Niat mereka hanya satu kepada kita. Jika mereka sudah berdamai dengan
Ali, maka berarti darah kita terancam”.
Orang-orang yang bersekongkol untuk kejahatan itu
menyadari bahwa perdamaian telah terjadi. Suasana tenang dan emosi reda. Jika
demikian, maka berarti kisas Hak Darah bisa ditegakkan bagi semua pembunuh
Utsman. Mereka secara pasti akan dibunuh sebagai bentuk penegakan kisas. Tentu
saja mereka tidak mau hal itu terjadi.
Kemudian, seseorang dari mereka ingin mengeluarkan Zubair
dari perdamaian, sebagaimana diriwayatkan oleh imam Ahmad dan imam yang lain,
bahwa seseorang mendatangi Zubair dan berkata, “Saya akan membunuh Ali
untukmu”. Zubair menjawab, “Jangan!”. Kemudian Zubair bertanya menyelidiki,
“Bagaimana caramu membunuhnya sedangkan dia berada di tengah-tengah pasukan?”.
Orang itu menjawab, “Saya akan menyusulnya dan menikamnya dari belakang”. Dia
akan berpura-pura sebagai kawannya, lalu setelah dekat dia akan menikamnya.
Zubair berkata, “Sesungguhnya Rasulullah bersabda, ‘Iman
adalah tali pengikat tikaman dari belakang (al-fitk). Seorang mukmin tidak
melakukan tikaman dari belakang’”.
Strategi Keji Untuk Merusak Perdamaian
Musyawarah orang-orang Ibnu Saba’ itu membuahkan strategi
keji. Perlu diketahui, bahwa kedua pasukan itu tidur saling berdekatan dan
berhadapan. Lalu, di dalam kegelapan malam, orang-orang jahat itu menyebar ke
dalam kedua pasukan dan membunuh kawannya sendiri di dalam masing-masing
pasukan-pasukan itu. Maka, yang terjadi adalah setiap pasukan menyangka bahwa
pasukan yang lain telah melanggar perdamaian dan menyerang duluan, lalu mereka
mulai mempertahankan diri masing-masing. Perang pun pecah tidak bisa dihindari.
Ketika pedang-pedang dihunus dan peperangan mulai
meletus, Thalhah dan Zubair berusaha menenangkan pasukan. Thalhah mulai
memanggil, “Wahai manusia, wahai manusia”, tetapi mereka tidak mendengarkan.
Ketika dia sudah tidak mungkin lagi menenangkan mereka, dia berkata, “Berhenti!
Lalat tamak dan hamparan api”. Sedangkan Ali berada di pasukan yang lain dan
mendengar, “Orang-orang menyerang kita”.
Kemudian Ka’ab bin Sur ra mendatangi Aisyah dan berkata,
“Susul orang-orang itu karena mereka sudah tidak mau apa-apa lagi kecuali ingin
berperang”. Kemudian Aisyah mengendarai sakedupnya di atas unta sambil
berteriak dan berbicara kepada orang-orang tapi tidak seorang pun yang
mendengarkannya.
Lalu Ka’ab bin Sur berdiri di tengah-tengah di antara dua
barisan pasukan sambil memegang mushaf al-Quran di tangan kanannya, lalu
berkata, “Wahai manusia, saya adalah Ka’ab bin Sur, hakim Bashrah. Ini adalah
mushaf. Mari kita selesaikan dengan hukum al-Quran dan mengamalkannya”. Lalu,
orang-orang jahat yang ada di barisan depan pasukan itu khawatir pasukan akan
menuruti ajakan Ka’ab bin Sur, lalu mereka melemparnya dengan tombak, tombak
itu mengenainya, lalu dia terbunuh dalam keadaan tangan kanannya memegang
musfah.
Ketika Aisyah melihat Ka’ab bin Sur terbunuh,
orang-orangnya Ibnu Saba’ yang jahat itu hendak membunuh Aisyah dan mulai
melempari sakedupnya dengan lembing. Aisyah tidak pernah menyangka bahwa umat
suaminya akan ada yang berusaha membunuhnya, sedangkan dia adalah ibu mereka
semua dan hanya ingin melakukan perdamaian, lalu dia mulai berkata, “Wahai
anak-anakku, Allah Allah, ingatlah Allah dan hari perhitungan amal”, tapi tidak
ada satu pun yang mendengarkannya.
Ketika Aisyah menyadari bahwa tidak satu pun yang
mendengarkan dan menjawabnya, dia berkata, “Ya Allah, laknatlah para pembunuh
Utsman dan sekutunya”, lalu penduduk Bashrah juga berkata demikian hingga
terjadi goncangan suara hebat di seantero pasukan hingga suara itu sampai
kepada telinga Ali di pasukan yang lain. Lalu ada yang berkata kepada Ali, “Itu
adalah Aisyah mendoakan celaka kepada para pembunuh Utsman dan pasukannya juga
berdoa demikian”. Ali berkata, “Saya juga berdoa demikian. Ya Allah, laknatlah
para pembunuh Utsman dan sekutunya. Semoga Allah melaknatnya, baik di atas
tanah maupun di atas gunung”.
Perang pun menyala, dan perdamaian itu pun kandas. Akal
kebingungan. Tidak satu orang pun yang bisa memimpin dan memegang kendali.
Tujuan orang-orang jahat itu adalah untuk membunuh
Aisyah. Saking banyaknya lembing dan tombak yang dilemparkan ke arah
sakedupnya, hingga tumpukan lembing dan tombak itu seperti landak di
tengah-tengah peperangan. Para pasukan Bashrah mengelilingi unta Aisyah sebagai
perisai untuk melindungi ibunda mereka, di samping unta itu peperangan
berkecamuk sangat dahsyat. Setiap orang yang memegang tali hidung unta itu
terbunuh.
Ali Menyelamatkan Aisyah
Sedangkan Ali mengatahui bahwa peperangan itu tidak akan
reda selama penyebabnya masih ada, yaitu keberadaan Aisyah di tengah-tengah
pasukan. Orang-orang jahat itu ingin membunuhnya, sedangkan kaum muslim ingin
menjaganya. Tidak akan ada satu orang pun yang akan lari meninggalkan Aisyah.
Lalu Ali memanggil orang-orangnya, di antara mereka adalah Muhammad bin Abu
Bakar, saudara Aisyah. Dia memerintahkan mereka untuk memotong urat keting unta
itu. Mereka pun berangkat ke arah unta itu dan berhasil memotong urat
ketingnya.
Ketika untanya terjatuh, mereka membawa Aisyah di dalam
sakedup kepada Ali dan dimasukkan ke dalam kemah Ali agar aman. Ketika Aisyah
sudah aman di tempatnya, orang-orang jahat itu melarikan diri. Di saat itu,
dari pihak Ali mengumumkan agar orang yang melarikan diri tidak dikejar dan
agar orang yang terluka dirawat. Dan peperangan pun berhenti. Tidak terjadi
perang antara Ali dan Aisyah.
Maka, riwayat yang menyatakan bahwa Aisyah senang dengan
terbunuhnya Utsman, mencaci maki dan mencela Ali, semua itu adalah kebohongan.
0 Comments